Tidak
berhenti pada pendekatan realism dan liberalism saja dalam dunia Hubungan
Internasional, pendekatan selanjutnya yaitu Marxisme. Marxisme bertujuan untuk
menyanggah pendekatan realisme yang menjelaskan tentang negara yang selalu
bersaing dalam hal kekuatan dan kekuasaan dalam hubungan internasional.
Marxisme juga mencoba menyangga pendekatan liberalisme yang menyatakan bahwa
perdamaian internasional dapat dicapai dengan adanya kerjasama antar negara
karena di mata para liberalis, negara bersifat positif dan rasional.
Marxisme
dicetuskan oleh Karl Marx. Marx berpikiran bahwa dalam kehidupan sosial, materi
menjadi sesuatu yang penting dan paling menentukan. Masing-masing individu akan
berjuang untuk mendapat materi sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan manusia
terbagi dalam kelas yang berbeda. Kelas
tersebut adalah kelas atas dan kelas bawah. Yang dimaksut kelas atas adalah
kelas bagi para pemilik modal (capital) sedangkan kelas bawah adalah kelas bagi
para buruh (labour) yang tidak memiliki modal. Kelas bawah bekerja dan
bergantung pada kelas atas.
Engels dan Karl Marx pada Tahun 1847
mendeklarasikan suatu “manifesto Komunis” di mana sistem
kapitalisme dilawan. Pandangan Marx mengenai adanya
perbedaan kelas dalam kehidupan manusia ini belum relevan jika dibawa pada
hubungan internasional. Pada akhirnya, Lenin muncul mengadopsi
pemikiran-pemikiran Marx yang kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena
hubungan internasional. Tulisan Lenin yang terkenal “Imperialism, The Highest
Stage of Capitalism” mencoba mengintegralkan pemikiran Marx dalam konteks
hubungan antar negara.
Menurut
pemikiran neomarxisme, ekonomi merupakan dasar dari semua kegiatan hubungan
internasional dan bahkan berada di atas politik. Resikonya adalah konflik kelas
menjadi implikasi logis dari hal ini. Lenin melihat bahwa negara tidak otonom,
mereka dijalankan oleh kepentingan kelas atas yang ada di negara mereka. Bahkan
peperangan yang terjadi merupakan efek dari adanya persaingan diantara para
kelas kapitalis. Dengan pandangan demikian, marxisme dan neomarxisme mencoba
mematahkan pandangan kaum realis yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi
dalam hubungan internasional adalah akibat perbedaan kekuatan dan keinginan
untuk saling menguasai satu sama lain dan politik menjadi hal yang pertama di
atas ekonomi.
Perbedaan neo-marxisme dengan Marxis :
- Marxis melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama, neo-marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran.
- Marxis cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi kelas atas harus terjadi lebih dahulu sebelum revolusi kelas bawah. Marxis percaya bahwa kelas atas progresif akan terus melaksanakan revolusi kelas atas yang tengah sedang berlangsung dinegara Dunia. Dalam hal ini neo Marxismen percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.
- Marxis lebih suka pada pilihan percaya, bahwa revolusi itu dilakukan oleh kelas bawah industri di perkotaan. Dipihak lain, neo-Marxisme berharap banyak pada kekuatan revolusioner dari para petani di pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.
Kelemahan Neo Marxis adalah terjadi ketergantugan antara negara
yang kuat dengan negara yang miskin dimana hal ini cenderung untuk berfokus
pada masalah pusat dan modal internasional sebagai penyebab kemiskinan dan
keterbelakangan. Namun di sisi lain kelebihan Neo Marxis yaitu bertujuan untuk
mengupayakan pertumbuhan, pemerataan dan juga otonomi nasional.
Dalam studi
hubungan internasional, rasionalisme baru mulai diperkenalkan pada tahun 1950
oleh Andrew Linklater, dalam bukunya yang berjudul ‘Rationalism’.
Menurutnya, rasionalis awalnya diperkenalkan dari seorang penulis klasik
seperti Gratius dan Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley Bull,
Vincent, dan Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara teori
realisme dan idealisme, dimana
realis memiliki argumen bahwa negara memaksa masyarakat internasional dibawah
kepentingan nasionalnya yang egois. rasionalis meyakinkan bahwa tekanan realis
dalam negara mengeluarkan control, dan mencari kekuatan. Kemudian, tuntutan
rasionalis, setelah pencapaian berbahaya yang dapat memusnahkan dari kekuatan
politik agresif atau revolusioner. Mereka percaya, bahwa pengetahuan murni
hanya dapat diperoleh melalui rasio manusia itu sendiri (rasionalisme).
Komunitarianisme adalah nama yang diberikan pada sebentuk
gaya berpikir yang menolak paham universalisme teori moral kantian, seperti
yang dikembangkan oleh Rawls, Habermas, Ronald Dworkin, ataupun Karl-Otto Apel.
Para pemikir komunitarian tersebut menentang pemikiran-pemikiran tersebut, dan
mereka pun mengorientasikan dirinya pada filsafat yang dikembangkan oleh
Aristoteles. Dalam perkembangannya selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, debat antara
universalisme dan komunitarianisme itu telah menyebar luas. Namun, sasaran kritiknya tetap berpusat pada karya teori keadilan yang telah
dirumuskan oleh John Rawls. Bagi para pemikir komunitarian, konsep Rawls
tentang keadilan yang ada dalam buku besarnya tersebut tidak melihat nilai-nilai
keutamaan yang secara esensial telah mempengaruhi seseorang dalam suatu
komunitas kultural, dimana orang tersebut lahir dan berkembang. Michael J.
Sandel, misalnya, mengkritik pengandaian antropologis Rawls sebagai yang
atomistik dan abstrak, serta pengandaian sosiologisnya yang bersifat
individualistik.
Referensi
:
Bull,
H. 1997. The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. London
Bull,
H. and Watson, A. 1984. The Expansion of International Society. Oxford
Linklater,
Andrew. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition.
New York : Palgrave Camillan.
Sorensen,
Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar