Rabu, 21 Desember 2011

Marxis, Neo-Marxis dan Rationalism

Tidak berhenti pada pendekatan realism dan liberalism saja dalam dunia Hubungan Internasional, pendekatan selanjutnya yaitu Marxisme. Marxisme bertujuan untuk menyanggah pendekatan realisme yang menjelaskan tentang negara yang selalu bersaing dalam hal kekuatan dan kekuasaan dalam hubungan internasional. Marxisme juga mencoba menyangga pendekatan liberalisme yang menyatakan bahwa perdamaian internasional dapat dicapai dengan adanya kerjasama antar negara karena di mata para liberalis, negara bersifat positif dan rasional.
Marxisme dicetuskan oleh Karl Marx. Marx berpikiran bahwa dalam kehidupan sosial, materi menjadi sesuatu yang penting dan paling menentukan. Masing-masing individu akan berjuang untuk mendapat materi sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan manusia terbagi dalam kelas yang berbeda.  Kelas tersebut adalah kelas atas dan kelas bawah. Yang dimaksut kelas atas adalah kelas bagi para pemilik modal (capital) sedangkan kelas bawah adalah kelas bagi para buruh (labour) yang tidak memiliki modal. Kelas bawah bekerja dan bergantung pada kelas atas.
Engels dan Karl Marx pada Tahun 1847 mendeklarasikan suatu “manifesto Komunis” di mana sistem kapitalisme dilawan. Pandangan Marx mengenai adanya perbedaan kelas dalam kehidupan manusia ini belum relevan jika dibawa pada hubungan internasional. Pada akhirnya, Lenin muncul mengadopsi pemikiran-pemikiran Marx yang kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Tulisan Lenin yang terkenal “Imperialism, The Highest Stage of Capitalism” mencoba mengintegralkan pemikiran Marx dalam konteks hubungan antar negara.
Menurut pemikiran neomarxisme, ekonomi merupakan dasar dari semua kegiatan hubungan internasional dan bahkan berada di atas politik. Resikonya adalah konflik kelas menjadi implikasi logis dari hal ini. Lenin melihat bahwa negara tidak otonom, mereka dijalankan oleh kepentingan kelas atas yang ada di negara mereka. Bahkan peperangan yang terjadi merupakan efek dari adanya persaingan diantara para kelas kapitalis. Dengan pandangan demikian, marxisme dan neomarxisme mencoba mematahkan pandangan kaum realis yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi dalam hubungan internasional adalah akibat perbedaan kekuatan dan keinginan untuk saling menguasai satu sama lain dan politik menjadi hal yang pertama di atas ekonomi.
Perbedaan neo-marxisme dengan Marxis :
  • Marxis melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama, neo-marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran.
  • Marxis cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi kelas atas harus terjadi lebih dahulu sebelum revolusi kelas bawah. Marxis percaya bahwa kelas atas progresif akan terus melaksanakan revolusi kelas atas yang tengah sedang berlangsung dinegara Dunia. Dalam hal ini neo Marxismen percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.
  • Marxis lebih suka pada pilihan percaya, bahwa revolusi itu dilakukan oleh kelas bawah industri di perkotaan. Dipihak lain, neo-Marxisme berharap banyak pada kekuatan revolusioner dari para petani di pedesaan dan perang gerilya tentara rakyat.
Kelemahan Neo Marxis adalah terjadi ketergantugan antara negara yang kuat dengan negara yang miskin dimana hal ini cenderung untuk berfokus pada masalah pusat dan modal internasional sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan. Namun di sisi lain kelebihan Neo Marxis yaitu bertujuan untuk mengupayakan pertumbuhan, pemerataan dan juga otonomi nasional.
Dalam studi hubungan internasional, rasionalisme baru mulai diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Andrew Linklater, dalam bukunya yang berjudul ‘Rationalism’. Menurutnya, rasionalis awalnya diperkenalkan dari seorang penulis klasik seperti Gratius dan Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley Bull, Vincent, dan Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara teori realisme dan idealisme, dimana realis memiliki argumen bahwa negara memaksa masyarakat internasional dibawah kepentingan nasionalnya yang egois. rasionalis meyakinkan bahwa tekanan realis dalam negara mengeluarkan control, dan mencari kekuatan. Kemudian, tuntutan rasionalis, setelah pencapaian berbahaya yang dapat memusnahkan dari kekuatan politik agresif atau revolusioner. Mereka percaya, bahwa pengetahuan murni hanya dapat diperoleh melalui rasio manusia itu sendiri (rasionalisme).
Komunitarianisme adalah nama yang diberikan pada sebentuk gaya berpikir yang menolak paham universalisme teori moral kantian, seperti yang dikembangkan oleh Rawls, Habermas, Ronald Dworkin, ataupun Karl-Otto Apel. Para pemikir komunitarian tersebut menentang pemikiran-pemikiran tersebut, dan mereka pun mengorientasikan dirinya pada filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Dalam perkembangannya selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, debat antara universalisme dan komunitarianisme itu telah menyebar luas. Namun, sasaran kritiknya tetap berpusat pada karya teori keadilan yang telah dirumuskan oleh John Rawls. Bagi para pemikir komunitarian, konsep Rawls tentang keadilan yang ada dalam buku besarnya tersebut tidak melihat nilai-nilai keutamaan yang secara esensial telah mempengaruhi seseorang dalam suatu komunitas kultural, dimana orang tersebut lahir dan berkembang. Michael J. Sandel, misalnya, mengkritik pengandaian antropologis Rawls sebagai yang atomistik dan abstrak, serta pengandaian sosiologisnya yang bersifat individualistik.

Referensi :
Bull, H. 1997. The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. London

Bull, H. and Watson, A. 1984. The Expansion of International Society. Oxford

Linklater, Andrew. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Palgrave Camillan.

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar