Jumat, 23 Desember 2011

Sejarah dan budaya, tidak sesuaikah dengan zaman?



Dalam perkembangan manusia, zaman berubah diikutsertai oleh perubahan pola hidup dan konsumsinya. Segala pola berubah. Pola pikir manusia, berubah. Entahlah, masa mana yang mempunyai manusia dengan kekuatan otak terbesar, siapa bisa menentukan. Ini sama halnya dengan menentukan siapa yang baik dan siapa yang tidak.
Beberapa generasi dahulu, sering menceritakan apa yang tabu dan tidak, apa yang pantas dan tidak, dan apa yang seharusnya dilakukan orang atau tidak. Norma asusila mereka tidak hanya berlandaskan akal pikiran dan perasaan, tapi juga berlandaskan sejarah. Sejarah merupakan bagian penting dari apa saja yang akan mereka lakukan, mereka katakan, dan mereka yakini sebagai sebuah sesuatu yang benar.
Landasan yang berlatar sejarah itu, sering mengkait-kaitkan apa yang terjadi di sekitar dengan kebenaran masa lalu yang disebut dengan sejarah.
Sejarah yang dimunculkan dalam dunia, terkadang bukan merupakan kejadian nyata, melainkan imajinasi yang sangat kuat dan menghantui dan tersimpan terlalu lama dalam memori yang kemudian seolah menjadi nyata, pernah ada, eksis.
Misal, pada hari Sabtu lalu, akhir September 2010, terjadi angin ribut di Jogja. Beberapa insan mengkait-kaitkannya dengan sejarah, dan cerita yang berlaku di sana. Tersebutlah fakta bahwa seorang Raja Sapi atau Kerbau di Boyolali meninggal di hari Sabtu tersebut. Dan kini, cerita versi gaib pun mulai terbangun. Konon, Nyai Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan, ingin melayat dalam pemakaman Raja Sapi tersebut, sehingga memorak-porandakan Jogja yang merupakan lintasannya.
Ada pula, dalam pernikahan, ada sebuah batasan dimana orang Pati tidak boleh menikah dengan orang Jogja. Hal ini dikarenakan sejarah. Sejarah berkata bahwa zaman kerajaan dan keraton dulu, kadipaten Pati dan Keraton Kesultanan Jogja tidak akur. Dampaknya adalah, berlakunya cerita rakyat bahwa perkawinan antara orang Pati dan Jogja akan menghasilkan keluarga yang tidak berkecukupan, bisa dalam harta, kebahagiaan, atau lainnya.
Demikian adalah contoh-contoh dari pola pikir suatu kaum yang percaya dengan sejarah dan budaya. Tidak bisa kita menentukan baik, benar, salah, atau buruk. Itu hanya masalah kepercayaan. Yang ada, kita harusnya saling toleransi, saling memahami, dan saling membantu walau prinsip dan keyakinan kita berbeda. Perbedaan tidak mengajarkan kita saling memusuhi, tapi mengajari kita untuk saling melengkapi Description: :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar