Dalam
perkembangan manusia, zaman berubah diikutsertai oleh perubahan pola hidup dan
konsumsinya. Segala pola berubah. Pola pikir manusia, berubah. Entahlah, masa
mana yang mempunyai manusia dengan kekuatan otak terbesar, siapa bisa
menentukan. Ini sama halnya dengan menentukan siapa yang baik dan siapa yang
tidak.
Beberapa
generasi dahulu, sering menceritakan apa yang tabu dan tidak, apa yang pantas
dan tidak, dan apa yang seharusnya dilakukan orang atau tidak. Norma asusila
mereka tidak hanya berlandaskan akal pikiran dan perasaan, tapi juga
berlandaskan sejarah. Sejarah merupakan bagian penting dari apa saja yang akan
mereka lakukan, mereka katakan, dan mereka yakini sebagai sebuah sesuatu yang
benar.
Landasan
yang berlatar sejarah itu, sering mengkait-kaitkan apa yang terjadi di sekitar
dengan kebenaran masa lalu yang disebut dengan sejarah.
Sejarah yang
dimunculkan dalam dunia, terkadang bukan merupakan kejadian nyata,
melainkan imajinasi yang sangat kuat dan menghantui dan tersimpan terlalu lama
dalam memori yang kemudian seolah menjadi nyata, pernah ada, eksis.
Misal, pada
hari Sabtu lalu, akhir September 2010, terjadi angin ribut di Jogja. Beberapa
insan mengkait-kaitkannya dengan sejarah, dan cerita yang berlaku di sana.
Tersebutlah fakta bahwa seorang Raja Sapi atau Kerbau di Boyolali meninggal di
hari Sabtu tersebut. Dan kini, cerita versi gaib pun mulai terbangun. Konon,
Nyai Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan, ingin melayat dalam pemakaman Raja
Sapi tersebut, sehingga memorak-porandakan Jogja yang merupakan lintasannya.
Ada pula,
dalam pernikahan, ada sebuah batasan dimana orang Pati tidak boleh menikah
dengan orang Jogja. Hal ini dikarenakan sejarah. Sejarah berkata bahwa zaman
kerajaan dan keraton dulu, kadipaten Pati dan Keraton Kesultanan Jogja tidak
akur. Dampaknya adalah, berlakunya cerita rakyat bahwa perkawinan antara orang
Pati dan Jogja akan menghasilkan keluarga yang tidak berkecukupan, bisa dalam
harta, kebahagiaan, atau lainnya.
Demikian
adalah contoh-contoh dari pola pikir suatu kaum yang percaya dengan sejarah dan
budaya. Tidak bisa kita menentukan baik, benar, salah, atau buruk. Itu hanya
masalah kepercayaan. Yang ada, kita harusnya saling toleransi, saling memahami,
dan saling membantu walau prinsip dan keyakinan kita berbeda. Perbedaan tidak
mengajarkan kita saling memusuhi, tapi mengajari kita untuk saling melengkapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar